BARU KALI INI saya melihat langsung sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) di Batu. Benar-benar wah. Sekolah ini luas sekali. Luasnya 3,3 hektar. Ada hotel. Ada sekolah. Ada perguruan tinggi. Ada asrama. Ada studio film. Ada minimarket. Ada panggung untuk konser musik, teater, baca puisi. Ada juga kolam renang mini. Ada tempat outbond. Sepintas malah bukan seperti sekolah.
Begitu masuk halaman sekolah, langsung disambut tulisan besar Transformer. Saya pikir ini meniru film mobil yang bisa berubah bentuk menjadi robot. Ternyata tidak. Transformer artinya perubahan.
Di sini siswa diajarkan tidak hanya belajar akademik, melainkan juga kewirausahaan. Selepas dari sekolah, mereka bisa langsung kerja. Sudah punya skill.
Sayangnya, semenjak heboh pendiri sekolah JEP dilaporkan SDS, sekolah ini menjadi bulan-bulanan warga. Trust-nya luntur. Banyak murid yang awalnya diterima masuk, tiba-tiba dijemput lagi oleh orangtuanya.
Lalu ada murid yang bercerita soal SPI, besoknya dijemput orangtua. Katanya, 'kamu pasti dipaksa sekolah untuk ngomong yang baik-baik saja ya'.
Mereka takut anaknya jadi korban. Apalagi setelah mereka mendapat pesan berantai. Macam-macam pesannya. Katanya di situ ada 'predator seks'. Katanya anak-anak diekploitasi untuk bekerja. Katanya korbannya banyak. Katanya ada pemurtadan. Katanya ada kekerasan fisik.
Semua ketakutan itu tidak cukup beralasan. Saat saya masuk ke dalam kelas dan bertemu siswa siswi SPI, yang ada hanya wajah-wajah ceria.
Saya tanya satu persatu.
"Kamu dari mana?"
"Papua."
"Kalau kamu?"
"Jakarta."
"Lha kamu?"
"Jombang."
"Yang duduk di sana dari mana?"
"Bali."
"Orangtua kalian di mana?"
Ada yang menjawab sudah meninggal. Ada yang bapaknya meninggal. Ada yang ibunya meninggal. Ada yang tidak tahu keberadaan bapak dan ibunya alias sejak kecil tinggal di panti asuhan.
Saya juga bertanya, apa mereka tertekan selama belajar di sini?
Mereka menggeleng. Terus tersenyum. Mencandai satu sama lain.
Mereka justru senang sekolah di situ. Katanya keren. Belum pernah ada sekolah seperti itu. Mirip pondok pesantren tapi bukan pondok pesantren. Selain itu, gratis. Sekolah gratis. Makan gratis. Tidur gratis.
Saya sempatkan masuk ke asrama. Khususnya asrama putri. Tempat tidurnya bertingkat. Yang bikin kaget, tempat tidurnya dari spring bed. Terus saya lihat banyak boneka kesukaan cewek-cewek berjejer rapi di tempat tidur. Tapi ada juga bed yang kosong. Mungkin pemilik seblumnya sudah lulus. Atau, mereka batal sekolah gara-gara dijemput paksa orangtuanya.
"Sewaktu anak-anak diterima masuk di sini, yang mereka lihat ya tempat tidurnya. Mereka tidak pernah tidur di kasur empuk," kata kepala sekolah, Risna Amalia Ulfa.
Menurut Risna, tugas anak-anak di sini cuma satu: belajar thok!
Artinya ya belajar akademik, belajar kewirausahaan, belajar menjadi enterpreneur.
Tidak ada ekploitasi anak. Tidak ada anak yang dipaksa bekerja. Yang ada pelatihan dan belajar.
Tapi, karena ada berita heboh itu, semua berimbas pada sekolah. Sampai-sampai sekolah didatangi inspektorat dari Kemenristekdikti. Ya, Risna harus lari ke sana kemari menyiapkan data. Untuk apa? Katanya SPI diisukan menggelapkan dana BOS. Mungkin maksudnya korupsi, karena BOS duit negara. Ternyata setelah pihak inspektorat melihat laporan pengeluaran sekolah, mereka kaget. Semua laporan tertulis pengeluaran. Tidak ada pemasukan kecuali dari donatur. Karena memang sekolah ini bukan semata-mata bisnis.
Kata Risna lagi, penggunaan dana BOS belum ada 5 persennya dari pengeluaran sekolah. Dalam sebulan pengeluaran SPI mencapai ratusan juta. Detilnya, Anda bisa tanya sendiri ke Risna. Intinya, dana BOS telah dipergunakan sebagaimana mestinya. Tidak ada korupsi seperti yang diisukan orang luar.
Menurut Risna, sejak berita heboh itu, jumlah pelamar menurun. Ya, di sini proses penerimaan siswa tidak seperti sekolah pada umumnya. Siswa harus melamar. Nantinya akan diseleksi pihak sekolah, apakah mereka layak dan berhak sekolah di SPI atau tidak.
SPI memang sekolah yang ditujukan untuk anak-anak yatim piatu. Bisa yatim saja atau piatu saja. Terutama ditujukan bagi siswa yang tidak memiliki biaya untuk sekolah. Karena itu seleksinya ketat.
"Harus diseleksi dan diwawancarai dulu. Mereka juga harus melampirkan berkas-berkasnya. Jika bapaknya atau ibunya meninggal harus melampirkan surat keterangan kematian," ucap Risna.
Bagi calon siswa yang berada di wilayah Jawa, biasanya seleksi dilakukan di sekolah. Siswa diwajibkan untuk datang. Kecuali bagi siswa yang berasal dari luar pulau. Pihak sekolah melakukan pemberkasan melalui video jarak jauh.
Selama ini sekolah SPI banyak menerima siswa dari penjuru tanah air. Dari beda ras, suku dan agama. Sebelum pandemi Covid-19 dan sebelum peristiwa heboh itu, siswa yang diterima berasal dari seluruh provinsi di Indonesia.
Pihak sekolah sengaja mengambil siswa dari seluruh provinsi. Alasannya, setelah lulus mereka bisa kembali ke tanah kelahirannya dan mengabdi di sana. Tentunya dengan membawa skill yang mereka punyai.
Selain penurunan jumlah siswa, SPI juga terancam kehilangan donatur. Beberapa donatur ada yang hengkang. Ada pula yang mundur alon-alon. Tetapi nanti, setelah kondisi SPI stabil, mereka memastikan akan kembali. Para donatur masih menganggap banyak sisi positif dari sekolah tersebut. Terutama bagi perkembangan masa depan pendidikan anak-anak bangsa.
Kendati demikian, untuk mengembalikan trust SPI tidak mudah. Iwan Kurniawan, teman sekolah JEP semasa SMA mengatakan, saat ini publik telah teracuni oleh berita-berita tidak sesuai fakta.
Banyak kabar miring dihembuskan sehingga berdampak pada sekolah SPI. Publik terutama netizen hanya melihat SPI dari satu sisi. They want see what they want see. Mereka tidak melihat fakta di lapangan. Bahkan orang-orang dari luar ragu untuk berkegiatan di SPI gara-gara takut dicap pembela predator seks.
Iwan mencontohkan penyanyi balada Iksan Skuter. Gara-gara pernah tampil di Ponpesnya Mas Bechi, dia di-bully netizen.
"Karena Iksan kawan saya, maka saya undang tampil di SPI untuk menghibur anak-anak. Dia bilang takut di-bully lagi."
Bahkan Youtuber Denny Darko mengaku di-bully habis-habisan oleh netizen. Gara-garanya ingin menelusuri kebenaran kasus pencabulan di SPI. Baik dari pihak pelapor maupun terlapor.
Sementara Youtuber dan televisi juga menayangkan curhatan pelecehan dengan derai airmata. Sayangnya, hanya sepihak. Sebab banyak yang belum tahu betapa hancurnya perasaan YH dan AS saat menonton tayangan tersebut. Keduanya disebut-sebut juga menjadi korban pelecehan.
Ya, YH dan AS sempat jadi saksi di persidangan. Di situ mereka mengaku tidak pernah menjadi korban.
"Tidak pernah ada kejadian itu. Saya difitnah jadi korban. Sangat keji," tutur YH. Airmatanya tak terbendung saat saya tanya kronoligis kejadiannya. Begitu pula AS. Airmatanya juga mengalir deras.
Ada perang airmata dalam kasus ini. Berkembang liar. Kemudian menjadi opini. Lalu muncul berita simpang siur tak sesuai fakta persidangan yang mengaduk-aduk perasaan publik.
Saya jadi membayangkan, andai saja para Youtuber terkenal itu dan televisi-televisi mau mengkonfrontir cerita antara SDS, YH dan AS, pasti akan seru dan menarik. Sebab kebenaran akan terkuak. Mana yang bohong dan mana yang benar. Pasalnya, selama ini YH dan AS mengaku tidak pernah dikonfrontir dari pihak manapun, baik dari kepolisian maupun Youtuber yang hanya peduli konten dan sensasi.
Karena itu Iwan tak habis pikir dengan pola pikir masyarakat. Mereka hanya percaya satu cerita, bukan cerita lain. Padahal kalau mereka mau berpikiran jernih, Iwan mempersilahkan datang dan melihat langsung SPI.
Saya pun diajak Iwan untuk melihat aktivitas anak-anak menjelang Magrib.
"Lihat saja pas Magrib. Tunggu di sini jangan pulang dulu," seru Iwan.
Begitu Magrib, saya meihat siswa siswi sudah berkumpul di mushola. Bertemu orang yang usianya lebih tua, mereka selalu mencium tangan. Sangat sopan dan ramah. Lalu saat melantunkan sholawat, tampak keceriaan di mata mereka. Dan, sholat berjamaah pun dimulai.
Yang bikin kaget, tak jauh dari mushola ada vihara untuk umat Budha. Di situ ada anak-anak khusuk berdoa. Suasananya sangat hehing. Di sebelah selatan, ada gereja Katholik dan Protestan. Nampak anak-anak berkumpul sambil menyalakan lilin. Di lokasi paling pojok ada Pura. Yang beragama Hindu juga khusuk berdoa.
Iwan singkat saja, beginilah seharusnya toleransi antar umat beragama. Beginilah keberagaman. Mengajarkan anak-anak untuk saling menghormati satu sama lain. Saya hanya manggut-manggut. Satu hal yang saya bawa pulang dari SPI: sekolah keren.
Penulis: Noviyanto Aji